Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang dua pekan sudah kondisi
Papua tidak kondusif. Unjuk rasa terus terjadi di beberapa wilayah Timur Indonesia itu sejak Senin (18/8).
Peristiwa yang terbaru, massa bahkan membakar gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), mobil, kantor Pos, hingga kantor Telkom Indonesia di Jayapura, Papua, pada Kamis (29/8). Bukannya mereda, situasinya justru semakin mencekam.
Aktivitas ekonomi pun ikut terdampak. Aliran listrik sempat padam di Jayapura. Mayoritas kantor ditutup lebih awal, dari toko kelontong, pusat perbelanjaan, hingga perbankan.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Rohan Hafas menyatakan manajemen memulangkan karyawan lebih cepat sebagai imbas kerusuhan di Jayapura. Namun, ia tak merinci berapa kantor cabang yang ditutup lebih cepat.
"Untuk alasan keamanan, terutama pegawai, sore tadi kami menutup dan memulangkan pegawai kami," ucap Rohan, dikutip Jumat (30/8).
Tak hanya itu, dampak kerusuhan di Papua juga langsung dirasakan pelaku usaha di sektor perhotelan. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Badan Pimpinan Daerah (PHRI BPD) Papua Syahrir Hasan mengatakan tingkat keterisian (okupansi) hotel menurun drastis.
"Okupansi hotel jelas turun dari yang biasanya 70 persen-80 persen, sekarang jadi hanya 40 persen," terang Syahrir.
Menurutnya, hotel di Papua kerap digunakan sebagai tempat persinggahan bagi pebisnis dari luar kota yang sedang melakukan kunjungan kerja. Namun, dengan kerusuhan ini, banyak orang yang membatalkan perjalanan bisnisnya.
"Sebagian kegiatan kunjungan bisnis jadi dibatalkan. Mayoritas memang untuk orang yang berbisnis kalau di sini (Papua)," katanya.
Terlebih, kerusuhan ini juga membuat Papua mundur sebagai tuan rumah untuk Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2019 dan Pekan Olahraga Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2020. Padahal, Syahrir menyebut pelaku usaha perhotelan mengharap berkah dari dua kegiatan tersebut.
"Lebih parah Popnas jadi dibatalkan, padahal itu banyak membantu di Papua. Papua kan jadi banyak dikunjungi," ujar Syahrir.
Jika kericuhan terus terjadi dan pemerintah tak bisa meredamnya dalam waktu singkat, Syahrir menyebut pendapatan bisnis perhotelan semester II 2019 rentan tertekan.
"Ini tergantung bagaimana pemerintah pusat, kalau lama penanganannya bisa panjang dampaknya," jelas dia.
Tak hanya hotel, industri pariwisata juga kena getahnya. Wakil Ketua Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Budijanto Ardiansyah mengatakan pariwisata sangat sensitif dengan situasi keamanan di daerah tersebut.
"Ini kan yang dirusak kantor-kantor fasilitas umum, biro perjalanan, hotel. Ini ganggu pariwisata," kata Budijanto.
Berdasarkan informasi yang ia terima, beberapa wisatawan membatalkan kunjungannya ke Raja Ampat, Papua Barat. Meski tak ricuh seperti di Jayapura, tapi banyak yang khawatir dengan situasi keamanan di seluruh kawasan Papua.
"Kalau destinasi utama kan masih Raja Ampat. Kalau pariwisata di Jayapura tidak banyak," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Keuangan PT PP (Persero) Tbk Agus Purbianto memastikan sejumlah proyek yang sedang dibangun di Jayapura masih berjalan normal hinggat saat ini.
Beberapa proyek yang dimaksud, yakni pembangunan gedung Bank Indonesia dan Bank Mandiri di Jayapura, lalu Jembatan Holtekamp, dan stadion.
"Sejauh ini proyek masih berjalan, tapi tentu kami amankan karyawan dan pekerja serta berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk menjaga objek yang kami bangun," kata Agus.
Ia tak menampik, jika nantinya proyek terpaksa diberhentikan sementara, maka akan berdampak negatif terhadap keuangan perusahaan. Sebab, beban operasional juga semakin meningkat.
"Tetapi kalau berhentinya di bawah satu pekan kami bisa lakukan percepatan," jelasnya.
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono).
|
Dampak Ekonomi
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat dampak kericuhan ini hanya sementara di Papua. Ia meyakini pemerintah pusat segera bertindak agar kondisi di Papua kembali kondusif.
"Ini kan hanya permainan politik saja. Saya yakin ini jangka pendek," ujar Hariyadi.
Ia juga optimistis hal ini tak berdampak pada rencana investor untuk membuka usaha di Papua. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang gencar membangun infrastruktur di sana.
"Ini tinggal tunggi waktu saja, orang (investor) tetap akan masuk ke sana (Papua). Tinggal menunggu infrastruktur jadi saja," jelas Hariyadi.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat keributan di Papua akan membuat imej provinsi itu rusak di mata investor. Alhasil, mereka yang awalnya berniat membangun usaha di Papua bisa jadi berubah pikiran.
"Investor ya bisa saja menahan diri dulu," ucap Ari.
Beruntung, sambungnya, ekonomi di Papua tak bergantung sepenuhnya pada investasi. Masalahnya, minat investor untuk menanamkan dananya di kawasan itu memang kecil sejak dulu.
"Investasi di Papua, Jayapura khususnya hanya ruko dan hotel. Minat investasi di Papua tidak banyak," jelas dia.
Hanya saja, jika banyak kantor yang tak beroperasi, pusat perbelanjaan ditutup, dan tingkat okupansi hotel turun, maka tingkat konsumsi masyarakat Papua akan berpengaruh. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi Papua juga akan melambat.
"Kalau okupansi turun, hotel berpotensi bangkrut. Kalau begitu pegawai kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Roda ekonomi tidak berputar, daya beli turun," ucapnya.
Senada, Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan skala investasi di Papua terbilang kecil. Kawasan itu bisa dibilang tak terlalu dilirik oleh investor asing.
"Kebanyakan hanya penanaman modal dalam negeri (PMDN). Manufaktur di sana kan tidak ada, investasi dari dalam negeri biasanya hanya hotel lalu pusat perbelanjaan," kata Faisal.
Namun, ia mengamini kalau kericuhan ini bisa membuat investor dalam negeri menahan rencananya untuk berekspansi ke Papua. Makanya, pemerintah pusat perlu turun tangan dan memastikan investor bahwa kondisi di Bumi Cendrawasih itu aman.
"Pemerintah pusat harus terjun dan melakukan dialog dengan pemerintah daerah untuk menenangkan situasi," pungkas Faisal.
Sebagai informasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realsiasi PMDN di Papua pada semester I 2019 sebesar Rp87,2 miliar. Angkanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan DKI Jakarta, Jawa Timur, Riau, dan Nusa Tenggara Barat yang mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Sementara itu, realisasi penanaman modal asing (PMA) pada periode yang sama di Papua hanya US$708 juta atau setara Rp9,91 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat). Jumlahnya juga lebih rendah ketimbang Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Banten yang nominalnya lebih dari US$1 miliar atau Rp14 triliun.
[Gambas:Video CNN] (lav)
Let's block ads! (Why?)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2UhNSMD
via
IFTTT